Pengamat




Saat aku masih kecil, kata Ibu aku sering jadi pengamat.


Saat aku diajak main ke rumah tetangga, sekedar bercengkrama ataupun bergosip. Sedangkan aku dibiarkan bermain dengan anak-anak lain. Umurku saat itu masih 2 atau 3 tahunan.


Kata Ibu, saat anak-anak lain sedang bermain dengan mainannya, aku hanya diam memperhatikan meraka. Memperhatikan dengan tatapan seperti, "Aku juga ingin bermain mainan itu". Bukan seperti anak-anak lain yang mungkin akan merebut mainan itu ataupun merengek minta dibelikan mainan seperti itu. 


Kata Ibu, aku melihatnya dengan tatapan ingin tahu, ingin mencoba mainan itu. Tapi aku hanya diam memperhatikannya dengan saksama. Sedang temannya Ibu, berkata kepada anaknya, "Eh itu Adeknya dipinjami mainannya juga dong Mas"


"Nangis dulu, nanti aku kasih", jawab anak yang punya mainan baru.


"Eh, kamu itu masak anak kecil disuruh nangis dulu", balas temannya Ibu.


"Biarin Bu, aku pengen liat Adek nangis", balas anak itu lagi.


Sedang Ibu ku hanya tertawa melihat tingkah anak itu dan ekspresiku yang diam saja..



***

Hingga sekarang masih sama, lebih suka diam dan mengamati. Bukan jadi pendiam ataupun silent reader. Tapi mengamati dalam diam. Mungkin lebih tepatnya seperti itu. 

Ah iya, kan kalian sering mengatakan aku begitu. Padahal juga tidak. Aku hanya membutuhkan waktu yang pas untuk berkata dan berpendapat. Dan diam tak selamanya emas. Salah besar ya, kalo kalian bilang aku pendiam. Hahaa..


Diamku tak berarti tidak melakukan apa-apa. Tapi memikirkan apa-apa yang nanti akan aku ucapkan. Karena lisan adalah senjata paling tajam untuk menjatuhkan orang lain. 


Dalam diam aku juga berpikir. Dalam diam aku selalu mengamati kalian. Merekam ekspresi kalian dan menyimpannya baik-baik dalam memori. Jika ada ekspresi yang berbeda, mungkin aku akan segera menyadarinya. Dan membenarkan ekspresi yang seharusnya (:

0 Komentar