Mendahulukan Keridhaan Allah daripada Keridhaan Manusia


 



Ridha menurut bahasa artinya rela, sedangkan menurut istilah ridha adalah menerima dengan senang hati atas segala yang diberikan oleh Allah subhanallahu wa ta’ala baik berupa hukuman atau ketentuan yang telah di tetapkan-Nya.

Imam Syafi’i ra. berkata, “Keridhaan manusia adalah cita-cita yang tidak mungkin tercapai, dan bagiku tidak ada cara melainkan menuju keselamatan. Karena itu, kerjakanlah apa yang bermanfaat untukmu lalu tekunilah.”

Keridhaan manusia tidak mungkin bisa tercapai karena manusia pasti ada yang menyukai dan ada yang membenci. Tidak ada cara lain menuju keselamatan selain mencari ridhanya Allah subhanallahu wa ta’ala.

­­­---

Alkisah ada seorang ayah dan anaknya yang bepergian menuju ke pasar dengan menaiki keledai. Tujuannya untuk mmenjual keledai tersebut. Mereka membawa keledainya dengan dituntun. di tengah perjalanan mereka bertemu orang yang baru kembali dari pasar. Orang itu berkata, Kenapa kalian capek-capek berjalan kaki, bukankah lebih enak jika kalian menaiki keledai itu?”.

Mendengar perkatan itu, sang ayah dan anaknya kemudian menaiki keledai itu. Keledai yang dinaiki tidak cukup besar sehingga terlihat kepayahan. Namun, untuk menghemat tenaga, mereka tetap menaikinya,

Tak berapa lama, mereka bertemu dengan penjual sayur yang sedang menunggu pembeli. Penjual sayur itu melihat keledai yang kepayahan membawa ayah dan anak yang duduk di punggungnya. “Kasihan sekali keledai itu, sudahlah badannya kecil malah harus dinaiki ayah dan anak yang berat. Benar-benar tidak peduli pada hewan,” ujarnya.

Mendengar kata-kata itu, sang ayah memutuskan untuk turun dari keledai sedangkan anaknya dibiarkan berada di atas keledai. Karena menurutnya memang sebaiknya satu orang saja yang menaiki keledai, sementara yang lainnya menuntunnya.

Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan penjual sapi dan anaknya. Kemudian si penjual sapi berbicara kepada anaknya, “Lihatlah nak, itu contoh anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya. Ayahnya capek-capek berjalan sedangkan anaknya enak-enakan ada di atas keledai.”

Mendengar perkataan itu, sang anak berkata kepada ayahnya, “Ayah, sebaiknya ayah yang naik dan biar aku yang menuntun keledainya. Aku tidak mau dikatakan anak yang tidak berbakti.” Sang ayah pun menyetujuinya. Kali ini bergantian sang anak yang menuntun keledai sementara sang ayah menaiki keledai tersebut.

Sepertiga jalan dari pasar, mereka bertemu dengan seorang kakek dan cucunya yang sedang berjalan-jalan. Sang kakek berkata, “Lihatlah cucuku, itulah contoh ayah yang tidak sayang kepada anaknya. Si anak dibiarkan bersusah payah berjalan sementara ayahnya malah naik keledai.”

Mendengar perkataan itu, sang ayah kemudian merenung, “Benar juga”, pikirnya. Kemudian dia turun dan mengajak berdiskusi anaknya.

“Nak, sepertinya kita selalu serba salah. Kita tuntun keledai salah, naik berdua juga salah. Kamu yang naik, aku yang menuntun salah. Apalagi aku yang naik sementara kamu yang menuntun juga salah. Hmm.. menurutmu sebaiknya kita apakan keledai ini?”

Anaknya berpikir sejenak, “Ayah bagaimana kalau kita pikul saja keledai ini? Siapa tahu itu cara terbaik.” Sang ayah pun setuju. Kemudian mereka mulai mengikat kaki keledai dan memanggul keledai itu bersama anaknya.

Merasa sudah benar, mereka dengan penuh percaya diri memasuki pasar hendak ingin menjual keledai itu. Tetapi, ternyata banyak orang yang menertawakannya.

“Keledai bisa berjalan sendiri kok dipanggul, kan jadi memberatkan. Dasar orang yang aneh,” ujar orang-orang di pasar.

Mendengar perkataan tersebut sang ayah sudah kehabisan akal. Mau gimana lagi biar tidak salah membawa keledai itu.

---

Bagaimanapun keadaan kita, kita tetap akan dicela dan dihina. Maka hendaklah mencari keridhaan Allah. Disitulah kamu akan menemukan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan. Hatimu akan merasa lebih rileks dan santai, tidak sibuk memikirkan komentar-komentar orang yang memujimu, apalagi komentar orang-orang yang memusuhimu.

Ibnu Abdis Salaam (Sulthoonul Ulamaa’) ra. Berkata,
“Keridoan Allah mencukupkan dari membutuhkan keridhaan siapapun. Jika kamu dicerca dan dihinakan maka ingatlah cercaan manusia tidak akan memberi kemudorotan kepadamu, karena hal ini telah dijamin oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:
Barang siapa yang mencari keridhoan Allah dengan (menyebabkan) kemarahan manusia maka Allah akan menjaganya dari beban (gangguan) manusia”

Ibnul Qayyim berkata,
Keridhaan makhluk tidak dapat diukur, tidak perlu dicari dan tidak menjadi prioritas. Keridhaan makhluk adalah perkara yang mustahil. Bahkan harus ada diantara mereka yang membencimu. Jikalau mereka membencimu lalu engkau meraih keridhaan Allah, maka itu lebih baik dan lebih bermanfaat untukmu daripada mereka membencimu namun Allah juga tidak ridha kepadamu. Apabila engkau harus dibenci oleh manusia, maka pilihlah kebencian mereka yang mengundang keridhaan Allah, karena boleh jadi mereka meridhaimu setelah itu. Hal yang paling ringan adalah jika hal itu tidak merugikan agamamu, imanmu dan akhiratmu.”


Jadi, apa yang harus dilakukan untuk mendahulukan keridhaan Allah daripada keridhaan manusia?

Luruskan niat dan perbaiki tujuan. Tujuan utama kita adalah menggapai ridha Allah, walaupun hal itu harus menyebabkan manusia membencinya. Dengan demikian, kebencian manusia akan menjadi enteng di hadapan-Nya. Tetapi, jika kamu mengutamakan keridhaan manusia, maka Allah dan makhluk-Nya sama-sama akan membencinya.

Dari Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Barang siapa yang berusaha mendapatkan keridhaan Allah, meskipun dengan risiko kemarahan manusia, niscaya Allah meridhainya dan menjadikan manusia ridha kepadanya. Namun, barang siapa yang berusaha mendapatkan keridhaan manusia dengan (melakukan sesuatu yang menimbulkan) kemurkaan Allah, niscaya Allah murka terhadapnya dan menjadikan manusia murka pula terhadapnya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbân dalam Shahîh-nya.

Seorang mukmin yang lebih mendahulukan keridhaan Allah di atas keridhaan manusia, maka dia akan terus berjalan sesuai dengan ketentuan syariat Allah dan tidak takut dengan celaan orang-orang yang mencelanya. Maka Allah akan membelanya dengan pertolongannya, karena dia telah bertakwa kepada Allah,

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya.”
(QS. Ath-Thalâq: 2)

Adapun orang yang tidak kukuh keimanannya, dia akan lebih mengutamakan keridhaan manusia daripada keridhaan Allah untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan meskipun dengan menyelisihi apa yang telah disyariatkan oleh Allah, naudzubillah min dzalik.


Regards,
- Ni -

0 Komentar